Sariagri - Hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali merupakan pepatah yang berarti jangan seperti hewan keledai yang tidak mau belajar dari kesalahan yang sama sehingga terulang kembali. Namun, dalam perkembangannya, ternyata keledai tak melulu bodoh. Sebab, ada juga keledai yang tak jatuh di lubang yang sama sampai dua kali. Itu artinya, sebodoh-bodohnya orang, tak akan mengulang kesalahan sebelumnya.
Namun, kenaikan harga kedelai yang terus berulang sehingga membuat pasar gaduh serta perajin tahu dan tempe kembali mogok produksi, tentu disebabkan oleh kebijakan yang tak jauh beda dengan ciri-ciri hewan keledai. Memang tidak bodoh-bodoh amat, tapi kasat mata tidak mampu mengendalikan pasar kedelai.
Kembali berulangnya masalah harga kedelai tak bisa lepas dari kebijakan pemerintah yang membuka keran impor. Padahal, pemerintah sendiri sudah berjanji akan meningkatkan produski kedelai dalam negeri hingga swasembeda, seperti era Orde Baru. Bahkan, Presiden sempat mengancam copot menteri pertanian apabila tak mampu meningkatkan produksi kedelai.
Janji boleh janji. Impor kedelai ternyata makin membesar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jika pada tahun 2016 mencapai 859.693 ton, tahun berikutnya jadi 538.728 ton, pada 2018 naik lagi jadi 650.000 ton, lalu tahun 2019 anjlok jadi 424.189 ton, kemudian tahun 2020 menurun jadi 290.784 ton, dan terakhir tahun 2021 menjadi hanya 200.315 ton.
Sementara itu, berdasarkan proyeksi Kementerian Pertanian, produksi kedelai Indonesia terus menurun sejak 2021 hingga 2024. Pada 2021, proyeksi kedelai yang dihasilkan dari dalam negeri mencapai 613,3 ribu ton, turun 3,01 persen dari tahun lalu yang mencapai 632,3 ribu ton.
Produksi kedelai Indonesia diperkirakan kembali turun 3,05 persen menjadi 594,6 ribu ton pada 2022. Setahun setelahnya, produksi kedelai bakal berkurang 3,09 persen menjadi 576,3 ribu ton.
Runyamnya, di saat produksi dalam negeri menurun, volume impor kedelai bukannya berkurang tapi stagnan di atas 2 juta ton. Misalnya, jika di tahun 2016 mencapai 2.267.803 ton, tahun 2017 naik jadi 2.671.914 ton, tahun 2018 turun sedikit jadi 2.585.809 ton, tahun 2019 naik lagi jadi 2.670.086, tahun 2020 turun jadi 1.279.165 ton, dan tahun 2021 naik lagi jadi 2.294.995 ton.
Kian melambungnya impor kedelai ternyata untuk menutupi kekurangan produksi dalam negeri. Data diperoleh, konsumsi kedelai tahun 2017 mencapai 2.893.798 ton, tahun 2018 sebesar 2.837.961 ton, tahun 2019 sebesar 4.187.123 ton, tahun 2020 sebesar 2.160.041, dan tahun 2021 mencapai 2.919.922 ton.
Produksi, konsumsi, dan impor kedelai Indonesia (Faisal Fadly/Sariagri)
Dari data itu sudah terlihat bahwa pemerintah membiarkan impor kedelai terus melonjak untuk memenuhi konsumsi. Ini kan sama dengan gali impor tutup dengan impor dan akhirnya masuk ke dalam perangkap impor.
Bukan itu saja, setiap tahun devisa negara terkuras untuk membiayai impor kedelai. Bahkan, pemain impor kedelai terbatas, hanya sekitar 7 perusahaan dan ini pun sebagian perusahaan asing.
“Jika setiap tahun mengimpor hingga mencapai 2,4 juta ton dengan harga per kilogram Rp10 ribu, artinya Indonesia mengeluarkan devisa mencapai Rp24 triliun per tahun,” kata Anggota Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, H Ayep Zaki, beberapa waktu lalu.
Lebih dari itu, jebakan impor kedelai telah menyandera pemerintah. Selain tak bisa mengatur kuota impor, pemerintah juga tidak bisa mengintervensi harga. “Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 tahun 2020 tentang harga acuan disebutkan bahwa harga jual kedelai impor di tingkat perajin hanya sebesar Rp6.800 per kg namun yang terjadi saat ini harganya tembus hingga Rp12 ribu per kg. Ini konsekuensi dari penyerahan kepada mekanisme pasar. Jadi, kalau harga di pasar dunia naik langsung ditransmisikan ke sini,” kata pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, kepada Sariagri.
Khudori mengungkapkan berulangnya masalah harga kedelai karena pemerintah tidak pernah menuntaskan dan tidak pernah membikin upaya untuk menyelesaikannya. “Tidak ada sesuatu yang diperbuat atau diupayakan pemerintah untuk tidak terjadi lagi,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah sudah puluhan tahun menargetkan komoditas kedelai sebagai salah satu komoditas swasembada, namun selalu keluar dari target yang ditetapkan.
“Buktinya kapasitas produksi kita tidak sampai 20 persen untuk memenuhi kebutuhan domestik, sisanya diimpor. Itu baru menghitung kebutuhan kedelai untuk tahu dan tempe yang sekitar 3 juta ton. Tapi, kalau kita hitung kedelai dalam bentuk bungkil, pakanan, dan kebutuhan yang lain itu kira-kira kebutuhannya 7 juta ton, makin jauh dari target,” jelasnya.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Slamet, menyatakan pemerintah harus mempunyai sikap tegas untuk mengembangkan dan memproduksi massal kedelai lokal, meskipun anggarannya besar di awal. Hal itu, perlu dilakukan demi kejadian serupa tidak selalui berulan setiap tahunnya.
“Pemerintah harus memberikan lahan ekstra kepada petani dan insentif agar mau menanam kedelai tanpa harus mengorbankan lahannya sendiri. Indonesia punya banyak lahan tidur yang bisa digunakan pemerintah untuk dijadikan kedelai estate jika Presiden ada keberpihakan pada genetik kedelai lokal untuk menjawab kedaulatan kedelai,” paparnya.
Slamet menyatakan Komisi IV selalu siap mendukung setiap upaya membatasi impor produk pangan apapun. “UU Cipta kerja memberi peluang impor tanpa batas, Fraksi PKS adalah satu-satunyanya partai yang menentang UU Cipta Kerja karena lebih banyak mendatangkan kerugian bagi bangsa dan negara, sebaliknya mendatangkan keuntungan bagi importir dan pengusaha,” pungkasnya.
Varietas kedelai lokal (Faisal Fadly/Sariagri)
Mengembangkan Kedelai Gampang-gampang Susah
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Edi Santosa, mengatakan bahwa untuk mengembangkan tanaman kedelai terbilang gampang-gampang susah.
Menurutnya, di negara penghasil kedelai seperti Amerika dan Brasil menggunakan mekanisasi penuh. “Di Brasil sama di Amerika saya pernah lihat orang tanam kedelai itu memang mekanisasi penuh dari mulai tanam sampai panen sehingga biayanya efisien. Salah satu kendala di kita hampir semuanya manual mulai dari tanam, pemeliharaan, panennya juga kadang-kadang manual,” ujarnya.
Permasalahan budidaya kedelai di Indonesia berikutnya adalah lahan kedelai yang memanfaatkan bekas lahan padi. Dikatakannya, lahan tersebut melihat kondisi air terlebih dahulu jika lahan masih tersedia air bisa ditanam padi, namun ketika kering bisa kedelai ataupun jagung.
“Kalau sekarang orang kejar tanam jagung, produktivitasnya tinggi, harganya dekat dengan kedelai. Kedelai kalau di tingkat petani sekitar Rp5.000 dikali 2 ton (per hektar) Rp10 juta, sementara kalau jagung pipilan misalnya Rp3.500 kali 7 ton (per hektar) itu udah Rp20an juta, menanamnya repot sama orang lebih milih yang untung besar,” jelasnya.
Edi mengungkapkan bahwa lahan di Indonesia silih berganti dengan komoditas lain, berbeda dengan di luar negeri yang memanfaatkan lahannya hanya untuk satu komoditas saja. Tanaman kedelai, lanjut Edi, merupakan tanaman yang mampu memfiksasi nitrogen dan udara, maka dari itu untuk pemupukan tidak menjadi masalah.
“Yang menjadi persoalan itu ketika petani ingin menjual itu gak ada yang beli, maksudnya dalam jumlah besar. Misalnya, dalam satu kawasan petani kita intensifkan untuk tanam kedelai, itu yang komitmen untuk membeli pas panen kadang maju mundur. Akibatnya tanaman kedelai tak bisa dikomit jangka panjang,” terangnya.
Menurut Edi, jika petani kedelai dibuatkan komitmen jangka panjang misalnya untuk kontrak 3-5 tahun (contract farming) yang dijamin dengan pendapatan dan penghasilan, tentu petani kedelai akan sejahtera.
“Tapi kalau di kita istilahnya contract farming itu gak jalan di beberapa komoditas strategis, kedelai. Nah, jagung bisa jalan karena motornya banyak swasta. Pengusaha tahu tempe itu tidak bisa kontak langsung dengan petani. Kalau jagung bisa langsung kontak dengan petani,” tuturnya.
Edi Santosa yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Kajian Kebijakan, Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) menyebutkan bahwa program pemerintah Indonesia menuju swasembada kedelai semangatnya masih ada, walaupun tidak masif.
“Program untuk swasembada kedelai itu kelihatannya masih jalan, cuma kelihatannya terobosannya kok minim ya, memang harus ada terobosan itu. Kalau gak ada terobosan akan kaya gini-gini terus, karena dengan 300 ribu ton yang kita produksi, sementara kebutuhannya hampir 3 juta - 3,5 juta ton itu jauh banget,” tandasnya.
Kebutuhan kedelai Indonesia sangatlah banyak mulai dari industri tahu dan tempe, bungkilnya untuk pakan ternak, maka dibutuhkan impor kedelai. Menurutnya, kalau tidak terfikirkan untuk swasembada, ketergantungan impor akan semakin besar.
“Kalau menurut saya program diversifikasi sumber kacang-kacangan itu pernah digaungkan, tetapi itu berhenti diperguruan tinggi, coba misalnya ada yang langsung action diberi lahan, diberi insentif itu pasti bisa,” imbuhnya.
Hargai kedelai di pasar global (Faisal Fadly/Sariagri)
Edi menyebut bahwa gejolak harga pangan membuat masyarakat resah, terlebih kedelai masih menjadi sumber protein utama bagi sebagian masyarakat terutama kalangan tertentu. Menurutnya, kedelai di Indonesia penelitiannya ada sudah sejak lama dan banyak jenis kedelai lokal yang lebih sehat.
“Yang jadi tantangan ketika harga kedelai lokal lebih mahal dari kedelai impor, gimana mencari balancenya. Di mana-mana sama, barang impor lebih murah dari barang dalam negeri sekali pun di Amerika,” katanya.
Dikatakannya, banyak sekali varietas kedelai yang dikembangkan di Indonesia, beberapa di antaranya ada kedelai orba yang memiliki ukuran besar, kemudian yang kecil seperti kedelai wilis, anjasmoro, kemudian ada kedelai hitam malika, kedelai merah, menurutnya kedelai tersebut banyak keunggulan.
“Menurut saya keunggulan (kedelai lokal) yang paling penting adalah pangan segar, kita mendapatkan kedelai segar. Walaupun bentuk kedelai impor itu bagus, mohon maaf itu kan bukan barang baru, barang simpenan. Namanya barang simpenan sudah pakai perlakukan macam-macam agar awet,” tandasnya.
Edi menambahkan bahwa keunggulan kedelai lokal yang segar dapat menopang kesehatan. Menurutnya, dengan menggunakan kedelai lokal juga berkontribusi pada pengurangan perubahan iklim.
“Setiap barang yang ditransportasikan jauh itu mengeluarkan CO2 yang berkontrobusi pada gas rumah kaca, gas tersebut berkontribusi pada perubahan iklim. Kalau kita peduli lingkungan harus makan barang lokal, jadi bahan bakar yang digunakan dari kebun ke meja makan itu sedikit,” tuturnya.
“Ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk membuat green economy, bagaimana kalau kita teriak-teriak green economy kalau kita sendiri tak melaksanakan. Kalau kita punya komitmen green economy makanlah barang lokal,” pungkasnya.
Khudori menambahkan, dalam budidaya kedelai terdapat dua persoalan penting pertama yaitu lahan yang terbatas. Dikatakannya, mengacu pada data Kementerian Tata Ruang, dan BPN luas persawahan Indonesia sebesar 7,4 juta hektar, dari luasan tersebut berkompetisi dengan sekian banyak komoditas salah satunya kedelai.
“Kalau kedelai itu tidak menguntungkan ya tidak akan ditanam. Itu tercermin betul kalau luas panen padi itu naik, itu pasti komoditas lainnya juga akan turun,” katanya.
Khudori menyarankan lahan budidaya kedelai yang sudah eksisting khusus ditanami kedelai saja di mana produksinya sendiri berada di pulau Jawa, khususnya Jawa Timur. Menurutnya, lahan penanaman tersebut harus digeser ke lahan sub optimal di luar pulau Jawa, seperti lahan bekas tambang, lahan kering, dan lahan bekas hutan.
“Memang produksinya tidak sebagus yang ada di Jawa, tapi mau tidak mau kan supaya untuk kompetiti dan swasembada. Nah yang kedua adalah bibit, kita harus pastikan bibit yang ditanami petani itu bibit unggul dan produktivitas tinggi, yang memang tahan sekian banyak penyakit dan hama,” pungkas Khudori.
Terkait swasembada kedelai, legislator Slamet mengatakan program yang digaungkan pemerintah selama ini tidak bergulir sebab tidak adanya insentif untuk petani dalam menutupi kerugian akibat lebih tingginya biaya produksi dibanding harga jual.
“Program swasembada tidak bergulir selama pemerintah hanya memerintahkan petani menanam kedelai tetapi tidak memberi insentif untuk menutupi kerugian akibat lebih tingginya biaya produksi dibanding harga jual. Lahan petani terbatas sehingga petani harus memilih menanam tanaman yang menguntungkan daripada merugikan,” ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga tidak berusaha mengembangkan bibit unggul kedelai lokal untuk menandingi kedelai impor yang dihasilkan dari teknologi GMO (Genetically Modified Organism) atau Organisme Rekaya Genetik.
“Sekarang ini malah ada pengusaha yang ingin menanam kedelai GMO di Indonesia. Sebagai bangsa seharusnya kita khawatir karena akan menghilangkan genetik kedelai lokal yang lebih natural dan bergizi,” terangnya.
Slamet menyebutkan bahwa selama ini masyarakat tertipu akan tampilan kedelai impor hasil GMO yang ukuran besarnya seragam, warnanya kuning, dan kemasannya bersih, dibandingkan kedelai lokal yang ukurannya beragam, tidak terlalu kuning warnanya dan kemasannya kotor.
“Sehingga pengrajin tempe tahu lebih suka memakai kedelai impor yang lebih murah harganya meskipun GMO yang gizinya kurang dibanding kedelai lokal. Kementan kurang gigih dalam mengembangkan dan memproduksi kedelai lokal,” katanya.
Lebih lanjut Slamet menuturkan bahwa pemerintah harus mempunyai sikap tegas untuk mengembangkan dan memproduksi massal kedelai lokal, meskipun anggarannya besar di awal. Hal itu, perlu dilakukan demi kejadian serupa tidak selalui berulan setiap tahunnya.
“Pemerintah harus memberikan lahan ekstra kepada petani dan insentif agar mau menanam kedelai tanpa harus mengorbankan lahannya sendiri. Indonesia punya banyak lahan tidur yang bisa digunakan pemerintah untuk dijadikan kedelai estate jika Presiden ada keberpihakan pada genetik kedelai lokal untuk menjawab kedaulatan kedelai,” tandasnya.
Strategi Pemenuhan Kedelai di Indonesia
Tak ingin disalahkan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan), mengklaim telah terus melakukan upaya pemenuhan kebutuhan sumber pangan termasuk kedelai. Namun, harus diakui bahwa pengembangan kedelai lokal menghadapi tantangan berupa alih fungsi lahan di daerah potensial dan persaingan penggunaan lahan dengan komoditas pangan strategis lainnya.
Direktur Aneka Kacang dan Umbi, Yuris Tiyanto, mengatakan di tahun 2022 Kementan memfasilitasi pengembangan kedelai seluas 52 ribu hektare yang tersebar di 16 daerah.
"16 daerah tersebut yaitu Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Timur, Riau, Jambi, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalsel, Sulteng, Sultera, dan Sulbar,” ujarnya.
Di samping itu, kementan juga mengajak peran off taker sebagai avalis atau melakukan kerjasama dalam hal pembiayaan. "Dengan menggandeng off taker, maka dimungkinkan untuk menjadi penjamin untuk pembiayaan KUR dan sekaligus pemasaran hasil petani kedelai," jelasnya.
Penanaman kedelai seluas 52 ribu hektar nantinya akan dijadikan benih pada luasan 30 ribu hektar (dengan produktivitas benih 1 ton per hektar) dan menghasilkan 30 ribu ton yang selanjutnya akan digunakan untuk areal tanam menggunakan anggaran non APBN.
Produktivitas kedelai yang dihasilkan diharapkan mencapai 1,7 ton per hektar, sehingga total kedelai yang dihasilkan di tahun 2022 diharapkan mencapai 1.040.000 ton atau senilai Rp 8,44 Triliun, dengan harga kedelai konsumsi per kilogram Rp 8.500.
Pengembangan kedelai seluas 52 ha tahun 2022 (Faisal Fadly/Sariagri)
Yuris mengatakan Kementan menargetkan memproduksi 1 juta ton kedelai pada tahun ini guna mencukupi kebutuhan kedelai nasional agar tidak lagi tergantung dengan pasokan impor. Dikatakannya, target produksi tersebut akan direalisasi melalui penanaman kedelai di 650 ribu lahan pada 14 provinsi Indonesia.
"Kita sudah berusaha dengan teman-teman di Dirjen Tanaman Pangan khususnya di Direktorat Aneka Kacang dan Umbi untuk meningkatkan produksi. Strateginya, satu, kita sudah melakukan pemberian bantuan ke petani seluas 52 ribu hektare ini lewat dana APBN untuk ditanami kedelai," katanya.
Dengan target luas tanam 650 ribu hektare pada 2022, sisanya sekitar 598 ribu hektare akan dibiayai melalui pendanaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Menurutnya, lahan seluas 52 ribu hektare sudah mulai ditanami kedelai pada Januari 2022.
Sementara sekitar 600 ribu lahan sisanya akan mulai ditanami kedelai pada April hingga Oktober 2022. Lahan seluas 650 ribu hektare tersebut merupakan lahan monokultur yang sudah ada dan akan ditanami kedelai untuk bisa mencapai target produksi 2022.
Selain menggunakan lahan yang sudah ada, strategi peningkatan produksi kedelai juga dilakukan dengan teknik tanam tumpang sisip, yaitu menanam dua jenis tanaman pada satu bidang lahan yang sama.
"Belum nanti kita coba juga tumpang sisip, yaitu tanam jagung dulu kemudian nanti begitu jagung panen akan kita tanami kedelai itu tumpang sisip. Artinya kita pakai lahan jagung, ini bisa kita lakukan. Ada dua strategi yaitu dengan monokultur dan satu tumpang sisip," imbuhnya.
Yuris menambahkan bahwa target produksi kedelai dalam negeri ini merupakan jangka menengah hingga jangka panjang dan belum bisa menyelesaikan persoalan harga kedelai impor yang tinggi seperti saat ini.
Dia menyebut rencana penanaman kedelai pada 650 ribu hektare lahan tersebut merupakan fondasi agar Indonesia bisa memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. (yoyok bp, arif ferdianto, rashif usman, putri)
https://pertanian.sariagri.id/90642/laporan-khusus-jurus-keledai-kebijakan-kedelai?utm_source=dlvr.it&utm_medium=blogger&utm_campaign=Google%20SariAgri.id
https://pertanian.sariagri.id/90642/laporan-khusus-jurus-keledai-kebijakan-kedelai?utm_source=dlvr.it&utm_medium=blogger&utm_campaign=Google%20SariAgri.id
Posting Komentar